SERIKATNEWS
Masih menyoal radikalisme Islam, kita tentu tahu bahwa untuk menghentikan jalur laju radikalisme bukan hanya melalui perdebatan pemikiran saja namun juga harus melalui aksi gerakan nyata yang mesti terus-menerus dilakukan.
Aksi gerakan nyata itu adalah gerakan kembali ke Islam Nusantara, yang bukan hanya dilakukan oleh segelintir orang saja, namun harus dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia terutama oleh umat Islam.
Bibit-bibit radikalisme harus terus kita waspadai. Kelompok-kelompok radikal yang berusaha ingin manjadikan bangsa ini seperti yang mereka inginkan (Arabisasi Islam) harus kita hadang dengan Islam kita, yakni Islam Nusantara.
Apa itu Islam Nusantara? Mungkin telinga kita sudah tidak asing lagi mendengarnya, tapi sungguh banyak yang belum menyadari keistimewaan Islam Nusantara yang telah menyatu dengan kultur khas Indonesia ini.
Islam Nusantara adalah Islam yang telah menyatu-padu dengan kebudayaan Indonesia, yang kaya akan keanekaragamannya. Sehingga tidak selalu sejalur dengan kebudayaan ke-Arab-an.
Islam Nusantara dinilai mampu, karena selain sebagai tameng yang kuat jika kita pegang erat bersama-sama, juga telah menjadi penyaring bagi upaya apapun yang dilakukan radikalisme Islam.
Kembali mengingat fenomena yang terjadi di masa lampau, Indonesia pada sekitar awal tahun 1950, pernah terjadi pertentangan hebat diantara gerakan-gerakan Islam dengan mereka kaum abangan.
Keduanya bercekcok, berselisih pandang tentang keharusan atau tidaknya menerapkan ideologi khilafah (syariat Islam) ke dalam konstitusi negara Indonesia.
Presiden Soekarno pun turun langsung dengan mengeluarkan dekrit, sebab jika terus-menerus berlarut dengan perdebatan mengenai ideologi tersebut, akan berbahaya dan mengancam keutuhan NKRI.
Kini, kelompok-kelompok radikal kembali mengusut & menghendaki adanya formalisasi syariat Islam ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Padahal, ada sesuatu yang amat vital yang tidak bisa diganggu gugat, yakni keberanekaragaman kebudayaan, suku dan agama di Indonesia. Hal ini tidak bisa diganti begitu saja atau dikesampingkan.
Di satu sisi, mayoritas muslim di Indonesia yang mempunyai pemahaman mendalam tentang ajaran agama Islam menolak adanya formalisasi Islam ke dalam kehidupan bernegara.
Sedikit mengulas, salah satu pemikir muslim pada abad ke 8 H yakni Ibnu Khaldun pernah membahas mengenai penyatuan antara ‘idealitas’ agama dengan ‘realitas’ dalam kehidupan berpolitik Islam.
Ibnu Khaldun pun memberikan contoh sistem ‘ashabiyah’ yang digunakan oleh Nabi dalam berdakwah. Sistem tersebut adalah sistem dan struktur jaringan sosial kesukuan yang telah ada sebelumnya.
Yaitu untuk memperkuat dan mempersatukan penduduk Madinah. Hal ini menjadi taktik cerdik Nabi. Bukan dengan cara menghilangkan atau membuang begitu saja sistem dan struktur sosial masyarakat pada saat itu.
Menurutnya, Nabi Muhammad Saw. tidak sekali pun pernah menghendaki apalagi memaksa realitas kehidupan sosial/politik masyarakat pada saat itu agar sesuai dengan idealisme agama.
Dari apa yang telah dipaparkan, tampak jelas bahwa apa yang diusung para ‘radikal’ yang ingin mendirikan negara Khilafah sangat tidak cocok dan bahkan kontra-produktif dengan kehidupan masyarakat Indonesia.
Maka itu m gagasan-gagasan seperti formalisasi syariat Islam mesti dihadang, yakni dengan cara-cara yang bijak dan cerdas, bukan anarkis apalagi berujung pada tindakan yang sangat ekstrem.
Penulis: Tim Redaksi