ISTIMEWA
Kelakuan sebagian orang yang mengaku beragama Islam namun melakukan tindakan dan aksis teror salah satunya terinspirasi dari adanya peperangan dalam dunia Islam yang telah terjadi 14 abad yang lalu. Terutama sejak terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan yang dikepung oleh 40 orang di rumahnya dengan tanpa penjagaan. Usman kala itu, tidak meminta para prajuritnya untuk menghadang para musuhnya karena tidak mau ada pertumpahan darah yang lebih besar. Usman yang menjadi Khalifah menggantikan Umar bin Khattab difitnah telah melakukan nepotisme, yang merugikan tatanan negara. Usman terbunuh dengan mengenaskan di tangan orang-orang yang mengaku melakukannya sebagai perintah agama mengahbisi orang yang bersalah. Padahal, bukan lain tujuannya adalah kekuasaan dan politik elit pada masanya.
Apa yang terjadi pada Usman dengan dibunuh menggunakan pedang itu diinspirasikan oleh sementara orang (teror dan radikal) sebagai ajaran agama, yang mengharuskan membunuh pemimpin yang tidak sejalan dengan pemikiran dan pemahaman kelompoknya. Inspirasi buruk ini masih terngiang di benak penjahat kelas kakap yang kerap mengatasnamakan agama demi kekuasaan sementara. Mereka lebih memilih mengorbankan nyawa umat yang di bawahnya daripada pemimpinnya sengsara tidak menjadi penguasa. Nyawa dan darah masyarakat bisa melayang kapan saja tanpa perhitungan asalkan politik kekuasaan elit dapat melenggang dengan mulus. Keterlibatan kelompok radikal dan mabuk beragama dalan eskalasi politik kotor ini pun tidak bisa diumpatkan dari panggung realita.
Apa yang dilakukan sebagai orang yang mengaku beragama Islam namun membenci, mengecam, bahkan mengancam membunuh mereka yang berbeda pilihan politik dan paham keagamaan adalah mindseat gagal yang mengklaim agama sebagai ajaran peperangan dan pedang. Selain peristiwa pembunuhan Usman di atas, peristiwa yang menjadi inspirasi gagal pelaku teror adalah perang Unta, perang pasca wafatnya Usman bin Affan, yang dilakukan oleh orang-orang dekat Rasulullah, yaitu Ali bin Abi Thalib dan Aisyah. Karena motif pergantian pemimpin pasca Usman, kedua kelompok yang paham Al-Qur’an itu rela menumpahkan darah umat. Peperangan yang hanya berjalan selama 4 jam itu, telah membuat 6.000 orang Islam terbunuh, termasuk Ubaidillah dan Zubair, kandidat Khalifah pasca Usman, selain Ali.
Membaca sejarah Islam haruslah dengan kacama objektif. Tidak perlu ada yang ditutup-tutupi, untuk masa depan yang lebih baik. Pertempuran Unta itu dimenangkan oleh Ali, dan Aisyah yang merupakan janda nabi kalah dan dikembalikan ke Madinah. Entah apa yang dirasakan keduanya, mengapa mereka sebagai orang-orang dekat Rasulullah dan pasti paham betul akan Al-Qur’an dan isi kandungannya tega berbuat peperangan antarsaudara yang menewaskan ribuan umat itu. Mereka rela menggadaikan pemahaman agama untuk egosime kekuasaan di dunia. Inilah yang diambil inspirasi jahat oleh para pelaku teror. Mereka dengan gegabah menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan Ali dan Aisyah adalah ajaran agama. Murni ajaran agama dan harus diamalkan oleh diri mereka di zaman modern yang sudah terpaut 14 abad silam. Bagi kelompok teror, agama adalah peperangan itu sendiri. Tanpa peperangan agama akan mati dibunuh tanpa sisa.
Tujuh bulan pasca perang Unta, meletus perang yang lebih dahsyat yaitu perang Siffin, yang terjadi antara Ali dan Gubernur Suriah Muawiyyah bin Abi Sufyan. Perang ini bahkan berdmp buruk hingga detik ini, yaitu lahirnya sekte-sekte dalam Islam, seperti Sunni, Syiah dan Khawarij yang kadang lahir juga kelompok yang gemar melakukan takfirisme dan radikalisme. Pada peperangan ini pihak Ali kalah setelah ditipu oleh Amr bin Ash melalui politik tahkim (arbitase). Atas penipuan ini pada akhirnya pihak Ali kalah dan Muawiyah melenggang menjadi pengauasa. Lagi, peristiwa ini kerap menjadi pandangan para pelaku teror untuk melakuakn aksi kekerasan dalam pemilihan pemimpin. Mereka berani mengorbankan nyawa hanya demi pemimpin yang diajukannya menjadi Gubernur, Walikota, atau Bupati, terealisasikan. Parahnya kadang, mereka menggunakan agama untuk memuluskan nafsu politiknya.
Tidak berhenti di situ, mindseat para pelaku teror dan radikal kerap mengambil inspirasi dari terbunuhnya Ali bin Abi Thalib. Ali, dibunuh oleh seorang bernama Ibn Muljam ketika Ali sedang akan melakukan jamaah salat Subuh di masjid. Kepala Ali ditebas dengan menggunakan pedang yang beracun, langsung membuatnya tidak bernyawa. Sayangnya, peristiwa ini lagi-lagi dianggap para pelaku teror sebagai ajaran agama. Padahal apa yang dilakukan pembunuh Ali murni adalah karena tujuan politik, tak ada secuilpun nilai agama. Selain Ali, cucu Rasulullah Husein pun ditebas kepalangan di Tanah Karbala dengan alasan akan menghalang-halangi Muawiyah dalam kontestasi perpolitikan pada saat itu. Kepala Husein dipenggal dan diarak dari Irak menuju kota Suriah. Betapa kejamnya mereka yang mengatasnamakan agama namun untuk melakukan hal-hal bodoh tanpa rasa salah.
Mindseat bahwa agama adalah agama perang dan pedang harus dibuang jauh-jauh. Apa yang terjadi di masa-masa awal Islam itu bukan ajaran agama, tetapi murni egoisme sebagian orang karena nafsu kekuasaan semata. Tak bisa kita menganggap sedikitpun itu merupakan ajaran agama untuk berperang dengan mereka yang berbeda keyakinan dan golongan. Islam sejatinya adalah agama rahmat (QS. Al-Isra: 17) yang memiliki ajaran perdamaian, kasih sayang, persatuan, hormat menghormati, dan saling menghargai. Islam, ketika ada perbedaan pendapat, mengajarkan untuk bersatu, bahu-membahu, saling mengenal, dan tidak berpecah belah (QS. Al-Ahujurat: 13). Apa yang dilakukab kelompok teror dan radikal dengan melakuakn bom bunuh diri, mencelakakan orang lain dan merugikan banyak pihak bukan sama sekali ajaran agama Islam. Islam tidak lain kecuali agama kasih sayang bagi semesta (rahmatan lil’alamin).[]
Penulis: Lufaefi (Penulis buku Nasionalisme Qur’ani)
Artikel dimuat di sangkhalifah.co