spot_img

Islam yang Tak Dirindukan


Islam merupakan agama yang sempurna. Ajarannya memuat tata-aturan hidup manusia baik urusannya dengan Tuhan ataupun dengan sesama manusia lain. Karena kesempurnaannya itu Islam bukanlah agama yang jumud, yang tidak bersifat kontekstual terhadap ruang dan waktu di mana Islam berkembang. Sumber Islam sendiri, Al-Quran, merupakan sumber agama yang kontekstual dalam segala ruang dan waktu (salih likulli zaman wal makan). 

Pada era modern seperti sekarang, muncul fenomena-fenomena keberagamaan yang bukannya menjunjung tinggi agama, tapi justru merendahkannya. Fenomena-fenomena yang ada di internal dunia Islam itu sendiri bahkan menjadi tantangan bagi umatnya. Hal itu pun membuat agama Islam kerapkali dicap buruk di mata publik. Apa saja bentuk fenomena tersebut, berikut:

Pertama, mempelajari agama dengan instan. Agama Islam memiliki ajaran yang sangat luas dan komprehensif. Untuk mencapai kepada puncak keislaman dibutuhkan kematangan dalam memahami ajaran-ajarannya, dari mulai ilmu Al-Quran, Fikih, Tasawuf, Manthiq, Balaghah, dan lain-lain. Mempelajarinya butuh waktu yang panjang. Islam tidak bisa dimengerti dalam tempo yang singkat, apalagi hanya melalui media sosial. 

Dalam faktanya, fenomena belajar agama secara singkat di zaman now ini menjadi trending. Belajar hanya dari internet, pesan WhatsApp atau Google adalah fenomena keberislaman zaman now yang ditemukan di banyak tempat. Herannya, proses belajar demikian itu kemudian dianggap cukup sebagai proses mencari ilmu. Dengan hanya belajar sekejap itu, sebagian orang kemudian siap untuk menyampaikan dakwah di tengah umat.

Fenomena demikian tentu saja berbahaya bagi agama dan umat Islam itu sendiri. Umat hanya akan diarahkan kepada pemahaman yang tidak komprehensif, bahkan cenderung ekslusif. Puncaknya, pemahaman yang hanya didapat dalam waktu singkat itu dapat menimbulkan sikap apatis terhadap pemahaman orang lain yang berbeda. Pemahaman agama yang diraih dalam tempo singkat itu juga meniscayakan tumbuhnya pemahaman agama yang sempit, sehingga berpotensi menyalahkan pemahaman lain yang tidak sempat dipelajarinya.

Kedua, lebih memilih Ustadz dadakan daripada ulama panutan. Masih terkait dengan fenomena pertama, fenomena kedua adalah memilih ustadz dan guru yang tidak jelas sanad keilmuannya. Sebagian umat Islam lebih menjadikan panutan ustadz-ustadz yang baru kenal Islam (muallaf) yang kerap menyalahkan keyakinan orang lain, daripada mengikuti ulama yang jelas track record-nya. Padahal Islam adalah agama yang menuntut umatnya supaya mereka mencari guru yang benar-benar mumpuni dan jelas kualitas keilmuannya. Sehingga ia tidak salah dalam memahami dasar tauhid dan ajaran keagamaan lainnya.  

Fenomena tersebut merupakan bentuk keberislaman yang tak dirindukan. Dengan begitu Islam hanya akan berkembang dengan sayap yang mudah patah. Islam akan menyebar dalam bentuk ajaran yang eksklusif, garang, menakutkan, dan nihil keilmuan. Padahal, ajaran agama adalah ajaran yang sakral yang harus didapat dari orang-orang yang jelas keilmuannya dan dari orang-orang yang tidak mudah menyalahkan keyakinan orang lain.

Dan ketiga, politisasi agama. Fenomena yang tidak kalah penting yang muncul di tengah-tengah zaman now adalah politisasi agama. Fenomena ini merupakan fenomena yang sering kali digunakan untuk membela kepentingan politik atau organisasi masa tertentu sebagai label jualan kelompoknya, dan, bahkan dilakukan oleh orang Islam sendiri. Agama hanya dijadikan sebagai kendaraan memuluskan kepuasan dunia. Agama hanya dijadikan alat untuk mendapatkan kepuasan dan nafsu memenangkan agenda demokrasi lima tahunan saja.

Dampak negatifnya, Islam pun dianggap sebagai agama yang legalistik semata. Islam dikampanyekan sebagian kelompok untuk diformalisasikan dalam bernegara. Sebaliknya, Islam yang tidak diterapkan dalam konstitusi negara hanya diklaim sebagai Islam yang tak sempurna. Fenomena zaman now itu menuntut agar sistem selain Islam harus ditumbangkan. Demokrasi dan Pancasila dianggap sebagai thagut yang harus dimusuhi oleh Islam dan pemeluknya.  

Fenomena keberislaman seperti itu tentu saja tak dirindukan dan tak diindahkan dalam agama Islam. Sebaliknya, agama Islam memerintahkan umatnya untuk memahami agama secara komprehensif, memilih guru yang sanad ilmunya jelas, dan mengkontekstualkan ajaran universalnya untuk setiap zaman. Karena Islam adalah agama yang ajarannya tidak akan mati dalam menghadapi zaman, kapanpun dan di manapun. 

Berkembangnya media sosial menjadikan fenomena-fenomena seperti di atas cepat masif diyakini sebagian umat Islam. Padahal, betapapun Islam tidak melegalkan fenomena-fenomena seperti di atas. Islam menuntut umatnya agar memahami agama dengan benar dan melalui jalan yang benar. Islam mengharuskan pemeluknya menjadi pemeluk yang benar dalam memahami agama dan juga benar dalam mengimplementasikannya.


Fenomena keberislaman zaman now sebagaimana disebutkan di atas tidak dirindukan oleh siapapun, sebab bukan meninggikan derajat Agam Islam tetapi hanya menjadi candu bagi agama itu sendiri. Agama Islam mencita-citakan umatnya menjadi umat yang benar-benar dalam menuntut ilmu, komprehensif dan lengkap dalam keilmuan. Eksistensinya menuntut umatnya untuk mendapatkan pemahaman (agama) yang utuh dari ahlinya. Islam juga mencita-citakan dirinya sebagai agama yang selalu memberikan kedamaian di setiap ruang dan waktu, dan tidak mengajarkan umatnya memanfaatkannya sebagai pemuas nafsu duniawi semata.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles