spot_img

Fatalisme Jihad Kelompok Teroris-Radikalis

foto: google

Kelompok teroris dan radikalis adalah dua kelompok yang memiliki pemahaman agama yang keras. Salah satu ciri khasnya, memahami agama secara ekslusif dan reaktif dengan menyalahkan kelompok lain yang berbeda. Pemahaman agama demikian secara mudah dapat disimpulkan jelas-jelas bertentangan dengan Islam sebagai agama rahmat dan damai. Kelompok ini kerapkali berdusta dengan simbol-simbol agama untuk melegitimasi kelakuan bejadnya. Ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi sering diperkosa demi keinginan dan nafsunya. Kelompok teroris dan radikalis inilah yang memberikan dampak negatif terhadap agama Islam dengan dituduh Barat sebagai agama kekerasan dan peperangan. Citra Islam tercoreng di mata dunia dengan disebut sebagai agama yang tak memiliki nilai kemanusiaan oleh oknum-oknum teroris dan radikalis yang gemar beragama dengan nafsu.

Salah satu ajaran Islam yang mulia yang dipolitisir oleh kelompok radikalis dan teroris adalah ajaran jihad. Syaikh Al-Maraghi menyatakan jihad adalah ajaran Islam yang sangat mulia. Pelakunya akan mendapatkan balasan dari Allah Swt baik di dunia maupun di akhirat dengan diberikan predikat kemuliaan di dalamnya. Siapapun yang gugur di medan jihad maka ia syahid. Jihad sendiri dalam makna bahasa adalah bersungguh-sungguh. Sedang secara istilah Imam Al-Kasyani memaknai jihad sebagai perbuatan mencurahkan kesungguh-sungguhan dalam rangka menegekkan kalimat al-hak agama Allah baik dengan harta, lisan maupun jiwa. Karena jihad merupakan syariat Islam, maka jihad dilakukan tidak boleh keluar dari koridor tujuan-tujuan syariat. Dan, salah satu tujuan syariat adalah menjaga jiwa (hifz an-nafs). Secara sederhana, dalam menegakkan agama Allah, jihad tidak boleh mengandung unsur yang berpotensi merusak jiwa seseorang, tidak boleh melukai fisik manusia, sebagaimana itu dilakukan para Bomber teroris.

Sayangnya memang, kelompok teroris dan radikalis memaknai jihad hanya sebagai peperangan, mengangkat pedang, dan melukai siapapun yang tidak beragama Islam. Yang alih-alih tujuannya adalah menegakkan agama Allah, namun justru melukai esensinya. Padahal, Islam bukan agama peperangan, sebagaimana menurut para ulama, ayat-ayat Al-Qur’an tentang peperangan sesunggunya sudah dinaskh maknanya (naskh maknawi) oleh ayat-ayat damai. Banyaknya ayat-ayat jihad dalam Al-Qur’an, dalam jumlah 30 ayat, seringkali disalahartikan oleh kelompok teror dan radikal sebagai legitimasi Islam atas peperangan melawan siapapun yang enggan beragama Islam. Tentu saja kesimpulan ini adalah kesimpulan yang fatal dan ngawur, memaknai ayat Al-Qur’an tanpa pertimbangan ilmu. Kelompok ini digolongkan ulama tafsir Al-Qur’an sebagai kelompok yang akan menghuni neraka, sebagaimana hadis Nabi ”  man fasaara Al-Qur’an a bi al-ra’yihî fal yatabawwa maq’adahû min an-nâr: siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu (tanpa keilmuan) maka tempatnya adalah neraka.

Di dalam Al-Qur’an, memang benar bahwa ayat-ayat tentang jihad ada sebanyak 30 ayat. Dari 30 ayat Al-Qur’an yang membahas soal jihad, 4 ayat turun di Mekkah dan 26 turun di Madinah. Para ulama tafsir Al-Qur’an, seperti salah satunya Sayyid Qutb, menegaskan bahwa ciri khas ayat-ayat Makkiyah adalah mengandung makna universal, berisikan tentang motivasi pembinaan keimanan, pembinaan akidah dan akhlak. Selain itu lebih bersifat teoritik. Sementara itu ayat-ayat Madaniyah bersifat praktis, implementatif. Atas dasar ini kelompok teroris menganggap bahwa ayat-ayat Makkiyah telah dihapus oleh ayat-ayat Madaniyah, dengan menyimpulkan bahwa jihad harus selalu dilakukan praktik dan implementasi peperangan dan membunuh orang Kafir. Kesimpulan ini, selain merupakan bentuk fatalisme, juga merupakan kesimpulan yang mengada-ada.

Ar-Râzi dalam tafsir Mafâtih Al-Ghaîb, menegaskan bahwa memang benar jihad adalah bermakna peperangan. Ayat Al-Qur’an pun mengafirmasi soal jihad dengan banyaknya ayat-ayat yang berjumlah 30 ayat. Akan tetapi menurutnya, ketika beliau menafsirkan QS. Al-Ahzâb: 38, pendapat yang menyatakan ayat-ayat jihad Madaniyah menaskh ayat-ayat jihad Makkiyah adalah dha’if. Justru sebaliknya menurutnya, ayat-ayat Makkiyah menaskh ayat-ayat Madaniyyah, hal itu sebab ayat-ayat Makkiyah bersifat universal sedangkan ayat-ayat Madaniyah partikular. Pendapat ini sebenarnya juga diteruskan oleh Amin Al-Khulli dan Husein Muhammad dalam membaca ayat-ayat gender dalam kacamata Makkiyah dan Madaniyyah. Pada intinya menurut Ar-Râzi, dalam persoalan jihad, ayat Makkiyah harus lebih diutamakan dari Madaniyah, dalam arti, jihad universal berupa menegakkan keadilan, pemperbaiki akidah, akhlak, pembinaan moral, harua diutamakan dan dimaksimalkan. Sebaliknya, tidak melakukan jihad dalam bentuk peperangan.

Ulama-ulama tafsir kontemporer seperti Al-Maraghi dan Quraish Shihab di dalam memaknai salah satu ayat jihad, QS. At-Taubah: 36 “wa qâtilul musyrikîna kâffatan: dan perangilah orang-orang Musrik secara keseluruhan”, menyatakan bahwa ada dua hal yang menyebabkan jihad dalam bentuk peperangan dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, yaitu ketika mereka sudah disakiti secara fisik dan terus menerus, dan kedua ketika ibadah mereka sudah dilarang serta diblokade untuk melakukan kegiatan syariat Islam. Rasulullah dan sahabatnya tidak akan mengangkat pedang melawan orang Kafir (harbi) selama mereka tidak menyakiti fisik dan melarang beribadah. Pendapat dua ulama ini memberikan isyarat kuat bahwa jihad dalam Islam adalah jihad mempertahankan diri (dapensif), bukan jihad represif (opensif). Maka dari itu, klaim kelompok teroris dan radikalis memaknai jihad dengan usaha memulai memerangi orang-orang Kafir, apalagi memerangi non Muslim serta memerangi orang Islam yang tak sepaham, tidak secuilpun tergolong sebagai perilaku jihad, akan tetapi hanyalah pemberontakan.

Islam adalah agama damai. Tidak sesekali menyuruh umatnya untuk berbuat kerusakan, atas nama apapun. Islam justru menginginkan umatnya hidup dalam bendera saling menghormati satu sama lain yang berbeda faham dan agama. Jihad dalam konteks kekinian, sebagaimana juga ditegaskan Muhammad Chirzin, adalah jihad universal dengan membangun kokohnya bidang-bidang strategis negara, seperti memperkokoh sektor ekonomi, politik, hukum, dan pendidikan. Jihad demikian selaras dengan apa yang ditegaskan Ar-Râzi bahwa jihad dalam konteks Al-Qur’an adalah jihad universal dengan mengutamakan ayat-ayat jihad Makkiyah. Jihad dalam konteks keindonesiaan juga dapat bermakna bersungguh-sungguh menegakkan karakter keadilan, kesetaraan, persamaan, dalam jiwa setiap manusia Indonesia.

Artikel asli dimuat di sangkhalifah.co

Penulis: Lufaefi (Penulis Buku Bela Islam Indonesia Bela Kemanusiaan).

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles