spot_img

Bolehkah Belajar Al-Qur’an Tanpa Guru?

Penulis: Dr. Abdul Aziz, M.A., M.A.H.k. (Dosen STAI Nurul Iman, Parung Bogor)

Ahad pagi (04/03/2023) bakda shalat Subuh berjama’ah di mingu awal setiap bulan di Masjid Al-Istiqamah perumahan Residence-Cendana rutin dilaksanakan mengaji dan mengkaji ilmu Al-Qur’an. Tampak para jama’ah begitu antusias dan semangat dalam belajar ilmu Al-Qur’an.

Sadar atau tidak, aplikasi Al-Qur’an memang sudah mewabah pada setiap gadjet/handphone dewasa ini. Meskipun begitu, tidak serta merta ia dapat mengganti posisi guru ngaji Al-Qur’an.

Ulama Qira’at (pakar Al-Qur’an) Syekh al-Dhabba’ menegaskan bahwa belajar Al-Qur’an wajib talaqqi (berhadapan) dan musyafahah (melihat gerakan bibir) guru ngaji ketika membacakan ayat-ayat Al-Qur’an.

Syekh ad-Dhabba’ menyebut dalam kitab al-Natsr fi al-Qiraat al-‘Asyr juz 1 halaman 210-211 juga menegaskan bahwa meskipun telah tersedia cetakan mushaf Al-Qur’an dan dapat dipertanggungjawabkan (al-madhbutah), namun tidak ada dalilnya jika orang belajar Al-Qur’an tanpa didampingi seorang guru. Karenannya, ia mengharamkan siapapun belajar Al-Qur’an tidak berhadapan dengan seorang guru yang sudah dianggap ahli dalam qira’ah (bacaan Al-Qur’an).

Baginda Nabi Muhammad Saw yang notabene sosok yang paling fasih tiada tanding saja, diperintah oleh Malaikat Jibril as untuk terus mengulang bacaanya yang telah dihafal ketika masuk bulan Ramadhan. Kita semua paham, Nabi Muhammad Saw adalah sosok maha guru dalam bidang Al-Qur’an sekaligus orang pertama yang menerima wahyu Al-Qur’an. Meskipun begitu beliau tetap bertalaqqi dan musyafahah dengan sang guru (Malaikat Jibril as).

Oleh karenanya, untuk dapat membaca Al-Qur’an dengan tartil, harus melalui kaidah-kaidah atau cara-cara yang telah disusun para ulama ahli tajwid. Sehingga seseorang bisa membacanya dengan fasih dan benar. Apabila seseorang membaca Al-Qur’an tanpa ilmu tajwid maka dikhawatirkan akan terjadi kesalahan serta dapat mengubah makna ayat Al-Qur’an yang dibacanya.

Maka tidak heran jika Ibnu Al-Jazari berpendapat bahwa membaca Al-Qur’an dengan tajwid adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Hal ini tersebut merupakan penjagaan terhadap keaslian Al-Qur’an. Lebih jelasnya beliau mengatakan dalam Manzhumah Al-Jazariyyah-nya:

من لمْ يجوّدِ القرآنَ ءاثمٌ, والأخذُ بالتجويدِ حتمٌ لازم

Membaca Al-Quran dengan bertajwid hukumnya wajib. Siapa yang membacanya dengan tidak bertajwid maka dia berdosa, karena dengan tajwidlah Allah SWT menurunkan Al-Quran dan dengan tajwid pula Al-Quran sampai dari-Nya kepada kita.

Berdasarkan pendapat Ibnu Jazari di atas, hukum membaca Al-Quran dengan tajwid serta tartil adalah fardhu ‘ain bagi setiap umat Muslim.

Selanjutnya perlu diperhatikan bahwa hukum mempelajari ilmu tajwid terbagi menjadi dua. Pertama, hukumnya sunnah bagi masyarakat umum. Kedua, hukumnya fardhu ‘ain (wajib) bagi masyarakat khusus (dalam hal ini bagi orang yang belajar mengajar Al-Qur’an).

Tidak ada toleransi perihal kesalahan belajar Al-Quran. Siapapun salah atau menyimpang (lahn) maka konsekuensinya adalah berdosa. Hal ini wajar karena belajar mengajar hingga memahami Al-Qur’an melalui guru yang lebih alim adalah wajib. Beda dengan bahasa Inggris, meskipun pronounciation-nya (pengucapannya) kurang fashih atau tensisnya salah maka seseorang yang belajar tidak apa-apa atau tidak berdosa.

Berbeda dengan kitab suci, dalam membaca Al-Quran, hukumnya wajib belajar melalui guru yang mempunyai sanad (jalur keilmuan) bersambung, mutawattir sampai Rasulullah dengan cara talaqqi. Proses pembelajaran harus musyafahah, dibacakan dan meniru, lalu dibenarkan oleh guru. Konsep belajar Al-Qur’an seperti demikian yang diajarkan oleh Rasulullah.

Hal tersebut berkaca pada pengalaman Nabi Saw saat berguru pada Malaikat Jibril. Gambaran ini termaktub dalam QS. Al-Qiyamah ayat 16:

لَا تُحَرِّكْ بِهٖ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهٖۗ

Jangan engkau (Nabi Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk membaca Al-Qur’an) karena hendak tergesa-gesa (menguasai)-nya.

Ayat ini tersirat sebuah pesan bahwa dalam belajar harus saman wa thaatan atau tahqiqu at-talaqqi as-syafawiyyi, yakni mempertegas seorang murid dalam menerima ilmu bacaan dari lisan guru. Peristiwa ini pun mengajarkan kepada kita bahwa dalam belajar membaca Al-Qur’an itu jangan mengedepankan malu dan gengsi di mata guru. Jika salah sadari kesalahan tersebut, maka guru akan membenarkan.

Berdasarkan keterangan itu, Abu Abdullah b. Abdussalam b. Ali dalam kitab al-Murayid al-Amiin Li al-Raghibin fi Hifd Al-Quran al-Adzim, halaman 185 menjelaskan bahwa orang yang belajar Al-Qur’an tanpa berguru berlebih dulu maka dia bertanggung jawab atas dosa yang disebabkan kesalahannya di dalam membaca Al-Qur’an.

Dengan nada sindiran, Imam ‘Ashim seorang ahli qiraatul Quran juga bernah berkata kepada seseorang yang biasa membaca Al-Qur’an tetapi dia belum pernah berguru kepada ahli qiraat Al-Qur’an!

Peringatan serupa juga disampaikan Imam Nafi kepada pemuda yang baru belajar kepadanya. Beliau berpesan: ”Bacaan Quran kita pada dasarnya merupakan bacaan para guru-guru kita. Kita mendengar langsung dari mereka. Kita jangan sampai membaca Al-Quran mengikuti nalar logika kita.

Selanjutnya Imam Nafi membaca ayat 88 Surat al-Isra, yang seolah-olah beliau menyamakan pembaca Al-Quran tanpa bimbingan guru diumpamakan sekelompok manusia dan jin yang ingin membuat tandingan Al-Quran. Nauzdubillah min dzalik!

قُلْ لَّىِٕنِ اجْتَمَعَتِ الْاِنْسُ وَالْجِنُّ عَلٰٓى اَنْ يَّأْتُوْا بِمِثْلِ هٰذَا الْقُرْاٰنِ لَا يَأْتُوْنَ بِمِثْلِهٖ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا

Katakanlah, “Sungguh, jika manusia dan jin berkumpul untuk mendatangkan yang serupa dengan Al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat mendatangkan yang serupa dengannya, sekalipun mereka membantu satu sama lainnya.”

Abdullah bin Mubarak rahimahumullah di kitab Shahih Muslim berkata:

 الإسنادُ مِنَ الدِّينِ، ولولا الإسناد لَقالَ مَن شاءَ ما شاء

“Sanad adalah bagian dari agama. Kalau bukan karena sanad, pasti siapa pun bisa berkata dengan apa yang dia kehendaki”.

Lebih lanjut, teringat sebuah maqalah yang disampaikan oleh Syekh Abu Yazid al Bustamiy (188-261H) dalam Tafsir Ruhul Bayan, beliau dawuh,

ﻣَﻦ ﻟﻢْ ﻳﻜﻦْ ﻟﻪُ ﺷﻴﺦٌ ﻓﺸﻴﺨﻪُ ﺍﻟﺸَّﻴﻄﺎﻥُ

“Barangsiapa tidak memiliki guru maka gurunya adalah syetan”.

Semoga bermanfaat.[]

 

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles